Education is the most powerful weapon which you can use to change the world-Nelson Mandela-   Education is the ability to listen to almost anything without losing your temper or your self-confidence-Robert Frost-  Education: the path from cocky ignorance to miserable uncertainty-Mark Twain-  Education is our passport to the future, for tomorrow belongs to the people who prepare for it today

Rabu, 30 Mei 2012

Peran Teknologi dalam Proses Pembelajaran

Pada masa sekarang, perkembangan ilmu pengetahuan telah mencapai suatu tahap di mana manusia tidak dapat lagi mengikutinya karena terlalu cepat untuk dapat di ikuti oleh manusia.
Oleh karena itu, teknologi (terutama internet dan komputer) digunakan untuk mengimbangi kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan, agar informasi yang ada dari seluruh dunia dapat di peroleh dalam waktu yang singkat.
Karena itu, dapat dikatakan teknologi memiliki peran yang sangat penting dalam memperlancar proses pembelajaran.

Hubungan antara e-learning dengan ubiquitous computing:
Menurut pendapat saya, untuk dapat memahami apakah hubungan antara e-learning dengan ubiquitous computing, kita perlu terlebih dahulu memahami apa itu e-learning dan ubiquitous computing.

A. E-learning dan Ubiquitous computing
1. E-learning
 Pengertian istilah e-learning menurut buku TIK oleh Munir:
 Huruf e pada e-learning berarti elektronik yang kerap disepadankan dengan kata virtual (maya) atau distance (jarak).
 Dari sini kemudian muncul istilah virtual learning (pembelajaran di dunia maya) atau distance learning (pembelajaran jarak jauh).
 Kata learning sering diartikan dengan belajar pendidikan (education) atau pelatihan (training).

 Jadi e-learning berarti pembelajaran dengan menggunakan media atau jasa bantuan perangkat elektronika (network) yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar kepada para peserta didik menggunakan media teknologi informasi berupa komputer dan jaringan internet atau intranet.
 Singkat kata, e-learning adalah proses learning (pembelajaran) menggunakan / memanfaatkan TIK sebagai tools.

 Belajar dengan e-learning:
 Dengan e-learning, belajar dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, melalui jalur mana saja dan dengan kecepatan akses apapun.
 Dalam pembelajaran e-learning pengajar dan peserta didik tidak perlu berada di tempat dan waktu yang sama untuk melangsungkan proses pembelajaran, e-learning memperpendek jarak antara pengajar dan peserta didik sehingga proses pembelajaran berlangsung secara efisien dan efektif.

2. Ubiquitous computing
 Adalah penekanan pada distribusi komputer ke lingkungan, ketimbang ke personal.
 Perangkat teknologi umum (telepon dan perangkat elektronik lainnya) akan terkoneksi ke internet dan pengguna mungkin tidak menyadari perangkat mana di lingkungannya yang terkoneksi.

 Ubiquitous adalah kebalikan dari dunia realitas virtual yang menempatkan manusia dalam dunia yang diciptakan komputer, ubiquitous computing memaksa komputer eksis di dunia manusia.

 Belajar dengan Ubiquitous computing:
 Perangkat komputer baru yang kecil, portabel, mobile, dan murah, diperkirakan akan menggantikan komputer dekstop.
 Dengan adanya perangkat baru ini, murid akan lebih mudah membawa perangkat informasi personal ke lapangan untuk membantu mengerjakan tugas dan bisa di bawa pulang, selain itu murid juga bisa meningkatkan kolaborasi dan memudahkan penggunaan tanpa di batasi lokasi.

B. Hubungan antara e-learning dengan ubiquitous computing:
Seperti yang dapat kita baca di atas, baik e-learning maupun ubiquitous computing memiliki fungsi yang mirip, yaitu: mempermudah proses pembelajaran. Mahasiswa hanya tinggal men-download materi kuliah yang di-upload oleh dosen, sehingga tanpa bertemu muka langsung pun proses pembelajaran dapat berlangsung. Hal ini terlihat dari adanya kuliah on-line (audio conferencing, video broadcasting, dan videoconferencing) di mana mahasiswa dan dosen berada di negara yang berbeda dan di benua yang berbeda, mahasiswa tidak perlu lagi meninggalkan tanah airnya untuk mengikuti kuliah dari universitas yang ditujunya.
Baik e-learning maupun ubiquitous computing saling berkaitan dalam hal bahwa yang satu sulit eksis tanpa ada keberadaan yang lainnya. Untuk e-learning dibutuhkan adanya komputer pribadi maupun pinjaman (ubiquitous computing), dan tanpa adanya e-learning keberadaan ubiquitous computing menjadi kurang berarti, untuk apa Anda memiliki komputer personal jika tidak Anda manfaatkan untuk mencari informasi?



Referensi :
Santrock, John W, 2008. Psikologi Pendidikan Edisi Kedua, Jakarta: Kencana.
Munir, 2008. Kurikulum Berbasis Teknologi dan Informasi, Bandung: Alfabeta.

wallahu ta'ala a'lam

Rhizo Education

Selasa, 29 Mei 2012

Cara Meningkatkan Motivasi Belajar Anak

Cara Meningkatkan Motivasi Belajar Anak. Setelah membahas mengenai Motivasi Belajar Anak Remaja dan kaitannya dengan Prestasi Belajar Anak, maka pada kesempatan ini saya juga akan menyampaikan beberapa tips atau cara untuk meningkatkan motivasi belajar anak. Karena begitu pentingnya motivasi belajar dalam proses perbaikan prestasi belajar, saya kira maka tips ini mungkin akan sangat bermanfaat.

Ada beberapa Cara Meningkatkan Motivasi Belajar Anak dalam kegiatan belajar di sekolah, misalnya saja seperti yang diungkapkan A.M. Sardiman (2005:92-94), yaitu :

1. Memberi angka

Angka dalam hal ini sebagai simbol dari nilai kegiatan belajarnya. Banyak siswa yang justru untuk mencapai angka/nilai yang baik. Sehingga yang dikejar hanyalah nilai ulangan atau nilai raport yang baik. Angka-angka yang baik itu bagi para siswa merupakan motivasi belajar yang sangat kuat. Yang perlu diingat oleh guru, bahwa pencapaian angka-angka tersebut belum merupakan hasil belajar yang sejati dan bermakna. Harapannya angka-angka tersebut dikaitkan dengan nilai afeksinya bukan sekedar kognitifnya saja.

2. Hadiah

Hadiah dapat menjadi motivasi belajar yang kuat, dimana siswa tertarik pada bidang tertentu yang akan diberikan hadiah. Tidak demikian jika hadiah diberikan untuk suatu pekerjaan yang tidak menarik menurut siswa.

3. Kompetisi

Persaingan, baik yang individu atau kelompok, dapat menjadi sarana untuk meningkatkan motivasi belajar. Karena terkadang jika ada saingan, siswa akan menjadi lebih bersemangat dalam mencapai hasil yang terbaik.

4. Ego-involvement

Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga bekerja keras adalah sebagai salah satu bentuk motivasi yang cukup penting. Bentuk kerja keras siswa dapat terlibat secara kognitif yaitu dengan mencari cara untuk dapat meningkatkan motivasi belajar.

5. Memberi Ulangan

Para siswa akan giat belajar kalau mengetahui akan diadakan ulangan. Tetapi ulangan jangan terlalu sering dilakukan karena akan membosankan dan akan jadi rutinitas belaka.

6. Mengetahui Hasil

Mengetahui hasil belajar bisa dijadikan sebagai alat motivasi belajar anak. Dengan mengetahui hasil belajarnya, siswa akan terdorong untuk belajar lebih giat. Apalagi jika hasil belajar itu mengalami kemajuan, siswa pasti akan berusaha mempertahankannya atau bahkan termotivasi untuk dapat meningkatkannya.

7. Pujian

Apabila ada siswa yang berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka perlu diberikan pujian. Pujian adalah bentuk reinforcement yang positif dan memberikan motivasi yang baik bagi siswa. Pemberiannya juga harus pada waktu yang tepat, sehingga akan memupuk suasana yang menyenangkan dan mempertinggi motivasi belajar serta sekaligus akan membangkitkan harga diri.

8. Hukuman

Hukuman adalah bentuk reinforcement yang negatif, tetapi jika diberikan secara tepat dan bijaksana, bisa menjadi alat motivasi belajar anak. Oleh karena itu, guru harus memahami prinsip-prinsip pemberian hukuman tersebut.

Hal senada juga diungkapkan oleh Fathurrohman dan Sutikno (2007: 20) motivasi belajar siswa dapat ditumbuhkan melalui beberapa cara yaitu:

a) Menjelaskan tujuan kepada peserta didik.

Pada permulaan belajar mengajar seharusnya terlebih dahulu seorang guru menjelaskan mengenai Tujuan Instruksional Khusus yang akan dicapainya kepada siswa. Makin jelas tujuan maka makin besar pula motivasi dalam belajar.

b) Hadiah.

Hadiah akan memacu semangat mereka untuk bisa belajar lebih giat lagi. Berikan hadiah untuk siswa yang berprestasi. Di samping itu, siswa yang belum berprestasi akan termotivasi untuk bisa mengejar siswa yang berprestasi.

c) Saingan/kompetisi.

Guru berusaha mengadakan persaingan di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.

d) Pujian.

Siswa yang berprestasi sudah sewajarnya untuk diberikan penghargaan atau pujian. Pujian yang diberikan bersifat membangun. Dengan pujian siswa akan lebih termotivasi untuk mendapatkan prestasi yang lebih baik lagi.

e) Hukuman.
Cara Meningkatkan Motivasi Belajar

Cara meningkatkan motivasi belajar dengan memberikan hukuman. Hukuman akan diberikan kepada siswa yang berbuat kesalahan saat proses belajar mengajar. Hukuman ini diberikan dengan harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan berusaha memacu motivasi belajarnya. Bentuk hukuman yang diberikan kepada siswa adalah hukuman yang bersifat mendidik seperti mencari artikel, mengarang dan lain sebagainya.

f) Membangkitkan dorongan kepada peserta didik untuk belajar.

Strateginya adalah dengan memberikan perhatian maksimal ke peserta didik. Selain itu, guru juga dapat membuat siswa tertarik dengan materi yang disampaikan dengan cara menggunakan metode yang menarik dan mudah dimengerti siswa.

g) Membentuk kebiasaan belajar yang baik.

Kebiasaan belajar yang baik dapat dibentuk dengan cara adanya jadwal belajar.

h) Membantu kesulitan belajar peserta didik, baik secara individual maupun kelompok.

Membantu kesulitan peserta didik dengan cara memperhatikan proses dan hasil belajarnya. Dalam proses belajar terdapat beberap unsur antara lain yaitu penggunaan metode untuk mennyampaikan materi kepada para siswa. Metode yang menarik yaitu dengan gambar dan tulisan warna-warni akan menarik siswa untuk mencatat dan mempelajari materi yang telah disampaikan..

i) Menggunakan metode yang bervariasi.

Meningkatkan motivasi belajar dengan menggunakan metode pembelajaran yang variasi. Metode yang bervariasi akan sangat membantu dalam proses belajar dan mengajar. Dengan adanya metode yang baru akan mempermudah guru untuk menyampaikan materi pada siswa.

j) Menggunakan media pembelajaran yang baik, serta harus sesuai dengan tujuan pembelajaran



semoga bermanfaat
Rhizo Education

Jumat, 25 Mei 2012

Kritik terhadap Pendidikan Sekolah, Bagaimana ?

Masih teramat banyak, mereka yang mengeluhkan mengenai mutu pendidikan di negeri ini, terutama mengenai mutu pendidikan sekolah (pendidikan formal). Ada yang mengkritisi dari segi sistem evaluasi, masalah guru, hingga secara ekstrim mempermasalahkan manfaat yang sesungguhnya dari bersekolah, yang kemudian memunculkan pertanyaan superlatif, “masih perlukah bersekolah ?”.

Sejumlah komentar, kritik atau pertanyaan yang menggelitik mengenai pendidikan sekolah tersebut adalah amat wajar mengemuka. Pertanyaannya, mengapa hal ini semua bisa terus terjadi ? Kemendiknas, sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional sudah tentu telah melakukan berbagai hal untuk mengatasi sejumlah masalah pendidikan sekolah. Pertanyaannya, mengapa masalah tersebut senantiasa muncul dan bersifat klise, serta oleh sebagian masyarakat dianggap belum mengalami perubahan secara signifikan ?


Masalah Ujian Nasional (UN)

Salah satu kebijakan Kemendiknas adalah meningkatkan standar mutu pendidikan sekolah, melalui penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). UN adalah bagian dari sistem evaluasi pendidikan di sekolah yang dimaksudkan untuk (1) memperoleh gambaran atau pemetaan mengenai mutu pendidikan sekolah secara nasional, (2) meningkatkan standar mutu pendidikan sekolah, (3) merangsang siswa dan guru untuk lebih giat dalam proses pembelajaran, dengan menjadikan UN sebagai salah satu komponen penting dalam menentukan kelulusan belajar seorang siswa (kini, porsi UN = 60 % penentu kelulusan, sisanya hasil evaluasi sekolah sendiri).

Apa yang terjadi di lapangan ? UN seringkali tidak menggambarkan hasil belajar sesungguhnya yang diperoleh oleh siswa. Banyak hal yang menjadi distorsi sehingga UN sering tidak mencapai sasaran, antara lain (1) sistem pengamanan lembaran soal UN yang rawan bocor, (2) sistem birokrasi di tingkat pemerintahan daerah yang mengkooptasi sistem evaluasi pendidikan sekolah, seperti target kelulusan UN di daerah sebagai sebuah prestasi dan prestise seorang pejabat daerah, yang kemudian di lapangan diterjemahkan dalam bentuk “bantuan teknis” oleh guru saat pelaksanaan UN dan “katrol nilai” siswa di sekolah agar mengimbangi kemungkinan hasil terburuk dari UN, agar mereka secara administratif tetap dapat diluluskan, sesuai target sekolah dan pemerintah daerah.

Apa reaksi para guru terhadap realitas pelaksanaan sistem evaluasi belajar di sekolah seperti di atas ? Sudah dapat diduga, sebagian besar mereka cenderung apatis, karena sistem birokrasi adalah bagian yang menjadi teramat penting bagi dirinya, bahkan menjadi yang paling berpengaruh, karena menyangkut banyak hal terhadap karir seorang guru. Adakah guru yang mau cari perkara, dengan membenturkan kepala pada dinding tembok yang kokoh, untuk sekedar membuat gegar otak di kepala miliknya ? Agar peluang lulus seorang siswa tetap terbuka, maka nilai ujian sekolah (yang berbobot 40 % kelulusan) dalam bentuk nilai rapor adalah minimal 7 (MIPA) dan 8 (non MIPA). Sebuah sistem evaluasi yang “win-win solution” bagi siswa, guru, kepala sekolah dan para pejabat di daerah dan pusat, bukan ?. Semuanya, “yang penting happy”.


Masalah Profesi Guru

Sekarang masalah guru. Masalah guru berawal dari sistem rekruitmen calon guru yang belum mampu menarik putra-puri tebaik Indonesia. Mengapa ? Karena, profesi guru masih belum menjadi profesi yang menarik dan menjadi bagian dari profesi pilihan “papan atas”. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa hampir tidak sedikit - untuk menghindari menyebut sebagian terbesar - mereka yang kini menjadi guru lebih karena alasan “terpaksa”, sebagai pilihan terakhir untuk dapat bekerja. Bukan pilihan utama, juga bukan karena panggilan jiwa, dan apalagi bukan karena image profesi yang dianggap bergengsi.

Mengapa hal ini bisa terjadi ? Sangat mudah ditebak. Guru adalah profesi yang dianggap belum menjanjikan bagi masa depan, dengan tingkat kesejahteraan yang relatif masih kalah jauh dari pekerjaan profesional yang lainnya. Salah satu alasan penting adalah menyangkut masalah penghasilan (salary). Secara jujur, ini menyangkut hal yang cukup sensitif bagi seorang guru saat berbicara masalah penghasilan atau gaji. Namun, suka atau tidak suka hal tersebut harus dipersoalkan, terutama agar menarik mereka yang sebenarnya sangat potensial untuk menjadi guru yang bermutu.

Kini, Kemendiknas telah memprogramkan rekruitmen calon guru dengan metode yang sebagian mengadopsi pendidikan di IPDN atau kedokteran. Katanya, calon guru, nanti akan diasramakan, dilatih secara khusus, melalui program khusus yang bekerjasama dengan beberapa lembaga pendidikan tinggi, agar mereka menjadi calon guru yang benar-benar profesioal. Apakah hal ini benar-benar akan efektif ? Untuk sebagian, mungkin iya, terutama terkait peningkatan mutu pendidikan bagi calon tenaga pendidik (guru). Namun, sebagian terbesarnya, kembali pada masalah pokok, rekruitmen calon guru yang berkualitas sangat terpengaruh oleh tingkat profesi guru dari kacamata salary.

Adalah menarik, upaya pemerintah pusat dengan mengeluarkan program peningkatan penghasilan guru melalui tunjangan profesional setelah melalui proses sertifikasi guru. Bagi mereka yang dianggap telah profesional dengan memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), maka guru akan memperoleh tambahan penghasilan 1 kali gaji pokok, yang dibayarkan setiap enam bulan sekali. Tujuannya, adalah agar guru lebih terangsang untuk meningkatkan profesionalismenya sebagai pendidik dan pengajar.

Apa yang terjadi di lapangan ? Survei Kemendiknas sendiri membuktikan bahwa program sertifikasi tidak secara otomatis meningkatkan mutu guru secara signifikan. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Pada tingkat implementasi, program sertifikasi telah mengalami distorsi. Program yang seharusnya mengacu pada tingkat mutu guru sebagai parameter seleksi, sehingga hanya guru yang berkualitaslah yang mendapatkannya, kenyataannya lebih berfungsi sebagai program pelipatgandaan pendapatan berdasarkan urut kacang senioritas, dan tak menutup kemungkinan pula berdasarkan asas lama, deket, dulur dan duit.

Apa yang selanjutnya terjadi ? Program peningkatan penghasilan ini tidak secara langsung meningkatkan mutu guru, karena yang terpilih kebanyakan mereka yang telah senior, yang secara teknis dan psikololgis amat rigid dan resisten terhadap perubahan dan pembaharuan. Program ini, pun belum mampu menarik mereka yang bermutu terbaik, yang sebenarnya potensial untuk mau menjadi guru sebagai profesinya.

Adalah lebih masuk akal, bila program peningkatan penghasilan dilakukan dengan sekaligus dan berlaku untuk semua, bagi mereka yang baru masuk menjadi guru PNS, atau yang sudah lebih dahulu senior. Guru perlu peningkatan total gaji yang memadai, tanpa terlebih dahului melalui proses sertifikasi, yang terkesan sebagai sebuah kebijakan setengah hati dalam meningkatkan gaji. Peningkatan penghasilan guru agar mencapai standar gaji minimal sebuah pekerjaan profesional yang menjanjikan menjadi sangat mutlak bagi terciptanya guru yang berkualitas. Sekedar perbandingan, gaji guru yang telah bekerja lebih dari 10 tahun dengan golongan IV A, hanya seperempatnya saja dari gaji pegawai Ditejen Pajak, seperti Gayus HP Tambunan, yang bergolongan III A, kurang dari 5 tahun bekerja !

Mungkin, ada pertanyaan. Apakah gaji guru PNS selama ini dianggap masih kurang cukup memadai ? Sebagai sebuah pekerjaan biasa untuk dapat hidup “biasa saja”, apalagi bagi mereka yang tinggal di daerah, mungkin bisa dikatakan cukup, untuk tidak menyebut pas-pasan. Namun, sebagai sebuah pekerjaan profesional, yang selalu dituntut terjadi peningkatan mutu dan kompetensi, jelas gaji saat ini belum cukup, untuk tidak mengatakan sangat kurang.

Guru adalah salah satu profesi yang berbasis pada aspek “knowledge” sebagai pijakan kompetensinya. Di samping terkait dengan kebutuhan operasional sehari-hari, kebutuhan perumahan, pendidikan anak-anaknya, dan masa depan hari tuanya, guru pun perlu selalu meningkatan mutu “knowledge”, yang antara lain dapat dipenuhi dengan membeli buku, mengakses internet, mengikuti kegiatan akademik, kuliah lagi, atau mengikuti forum ilmiah, melakukan perjalanan yang bersifat “studi komparatif” ke daerah atau tempat tertentu yang secara langsung atau tidak langsung dapat memperkaya pengetahuan dan wawasannya sebagai seorang pendidik yang profesional.

Dalam konteks inilah, maka gaji guru saat ini dapat dikatakan masih jauh dari standar gaji pekerjaan yang disebut profesional. Apalagi, dengan waktu mengajar minimal yang 24 jam pelajaran setiap minggunya, maka amat sulit bagi seorang guru untuk melakukan banyak hal dalam pengembangan profesinya. Lebih sulit lagi, adalah untuk mengatasi kekurangan gaji dengan melakukan tambahan profesi lain, di luar sebagai pengajar. Berbeda halnya, misalnya dengan profesi dokter, yang hanya berada di rumah sakit cukup dengan 2-3 jam saja per hari, untuk 3-4 hari saja per minggu. Dokter, dapat memperoleh penghasilan yang jauh lebih tinggi dengan lebih banyak waktu berpraktek di rumah sakit swasta atau praktek pribadi di rumahnya sendiri. Pekerjaan profesional, menuntut ketekunan dan kesetiaan profesi tanpa harus diganggu oleh masalah-masalah kecil, antara lain seperti gaji yang kurang mencukupi.

Sekali lagi, ini bukan ekspresi dari keluhan seorang guru. Ini adalah logika yang cukup adil, untuk menentukan, apakah guru merupakan sebuah pekerjaan profesional yang cukup menjanjikan ? Apakah profesi guru cukup menarik bagi mereka, putra-putri terbaik Indonesia yang sangat potensial dan berkualitas ? Akhirnya, ini adalah sebuah pertaruhan, apakah anak cucu kita di negeri ini, secara nasional, berpeluang besar untuk dapat dididik oleh guru-guru yang bermutu dan profesional ? Jika pendidikan merupakan bagian dari komponen atau indeks mutu kehidupan, maka hal ini menjadi salah satu ukuran yang sesungguhnya mengenai bagaimana masa depan mutu kehidupan bangsa kita !


Masalah Pembelajaran yang Efektif dan Menarik

Terakhir, adalah masalah proses belajar mengajar (pembelajaran) di sekolah. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, tidak cukup hanya dengan menaikkan gaji guru secara memadai. Juga, tidak cukup hanya dengan melakukan perubahan Undang-Undang (UU) dan perubahan kurikulum di sana sini. Peningkatan mutu pendidikan, khususnya di sekolah, membutuhkan lebih dari sekedar masalah landasan yuridis, pergantian kurikulum, penerapan konsepsi model-model pembelajaran, entah itu CTL, Quantum Learning, Cooperative Learning, dan seterusnya, atau hal-hal yang lebih bersifat teknis administratif, seperti tugas Satpel, RPP dan sebagainya.

Mengajar adalah bagian dari bentuk komunikasi. Masalah mengajar, sesungguhnya berawal dari masalah bagaimana guru berkomunikasi dengan siswa. Penguasaan materi pelajaran adalah mutlak bagi seorang guru. Namun, yang tak kalah penting lagi adalah kemampuannya dalam seni berkomunikasi saat mengajarkan materi pelajaran kepada siswa di kelas. Yang dimaksud adalah, bukan komunikasi yang selama ini banyak terjadi, yakni komunikasi yang bersifat memaksa, menekan dan tidak membuat nyaman bagi siswa. Namun, yang diperlukan adalah komunikasi yang bersahabat, menyenangkan, tidak membosankan, dan membuat nyaman bagi siswa tanpa menghilangkan efektifitas dari tujuan pembelajaran itu sendiri.

Adalah sangat sangat perlu untuk melakukan pembenahan kurikulum lembaga pendidikan tinggi yang mendidik para calon guru, dengan memasukkan masalah kemampuan berkomunikasi sebagai bagian dari mata kuliah wajib, yang hingga saat ini -mungkin - belum tersedia. Adalah lebih penting meningkatkan kemampuan seni berkomunikasi guru, bila dibandingkan dengan penambahan kewajiban yang bersifat teknis adminstratif, seperti RPP atau Satpel, yang sebenarnya dapat diambil alih oleh para profesional lain di bidang kurikulum. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penambahan kewajiban teknis administratif, ternyata tidak memiliki korelasi langsung terhadap peningkatan mutu pembelajaran seorang guru. Kompetensi seorang guru, pada hakikatnya terletak pada kemampuannya menyelenggarakan proses kegiatan pembelajaran yang bermutu, efektif, dan menarik bagi para siswanya.

Adalah menarik untuk belajar dari bangsa lain. Para peneliti pendidikan di Amerika Serikat (AS) menyimpulkan bahwa kekalahan rata-rata hasil belajar siswa AS dibandingkan dengan siswa di Jepang, khususnya di bidang Matematika dan IPA, bukan disebabkan oleh tidak adanya perubahan dan perbaikan sistem pendidikan di AS. Perubahan dan perbaikan pendidikan selalu dilakukan oleh AS setiap tahunnya. Ada satu hal yang tidak dilakukan oleh AS, namun telah dilakukan oleh Jepang, yaitu adanya sistem yang menjamin peningkatan mutu pembelajaran yang dapat berlangsung secara terus-menerus dan berkelanjutan. Sistem itu, yang kemudian juga kini baru diadopsi oleh Indonesia, adalah Jugyokenkyu atau lebih populer dengan istilah Lesson Study, atau Studi Pembelajaran.

Apa yang terjadi pada pendidikan di sekolah kita ? Tanpa menafikkan lebih banyak sekolah yang telah menerapkan proses pembelajaran yang bermutu dan menarik, kiranya dapat dikatakan sebuah hasil pengamatan sementara, dan mungkin masih bersifat terbatas. Bahwa Indonesia pun belum memiliki sistem yang menjamin tejadinya peningkatan mutu pembelajaran secara terus-menerus dan berkelanjutan. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Proses pembelajaran oleh guru, lebih bersifat individual. Artinya, guru mengajar tidak memiliki kaitan langsung dengan pengajaran yang dilakukan oleh guru lainnya. Guru, seolah memiliki kebebasan yang bersifat mutlak tentang bagaimana ia mengajar di kelas, tanpa diketahui oleh guru lain bagaimana sesungguhnya proses pembelajaran itu terselenggara.

Ini, menyangkut masalah kontrol atas praktek pembelajaran seorang guru di kelas, dari sebuah sistem pembelajaran di sekolah secara keseluruhan. Guru, seolah hampir tanpa kontrol, dan bersifat kebal dari kemungkinan koreksi dari pihak lain. Entah, guru itu telah mengajar dengan baik dan menarik, atau mengajar dengan seadanya dan membosankan. Semua itu berjalan begitu saja, dan berkalu untuk seterusnya. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Karena sistem pengawasan fungsional tidak berlangsung sebagaimana mestinya, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali.

Sistem kontrol yang berlangsung selama ini, adalah melalui penilaian dan supervisi dari Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah. Namun, apa yang terjadi di lapangan ? Proses penilaian dan supervisi, sekali lagi, jatuh pada hal yang lebih bersifat teknis-administratif, seperti pembuatan RPP dan sejenisnya. Bukan, pada hal yang bersifat substansi dari proses pembelajaran, seperti bagaimana mengajar materi pelajaran yang efektif dan menarik bagi siswa. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Mudah ditebak pula. Ini masalah kemampuan dan mutu SDM, mereka yang menjabat sebagai Kepala Sekolah atau Pengawas.

Secara ideal, seorang Kepala Sekolah, atau apalagi pengawas adalah orang yang dipilih, salah satunya karena alasan mereka memiliki kemampuan yang lebih mengenai bagaimana menyelenggarakan proses pembelajaran di kelas yang efektif dan menarik. Sehingga, dengan demikian, mereka dapat diharapkan tidak saja melakukan kegiatan monitoring, namun pula mampu memberikan pengarahan dan sekaligus memberikan contoh mengenai bagaimana mengajar yang efektif dan menarik itu bagi guru-guru yang lain. Apa yang terjadi saat ini ? Jabatan Kepala Sekolah lebih terkesan sebagai bagian dari proses penempatan jabatan karir birokrasi di pemerintahan daerah. Meski kini, Kemendiknas sedang berupaya untuk melakukan sertifikasi calon Kepala Sekolah. Akan efektifkah ?

Ukuran kualitatif dan selektif berdasarkan standar yang dituntut dalam dunia pendidikan menjadi seolah terkalahkan oleh preferensi yang lebih bersifat birokrasi, seperti soal loyalitas, senioritas, dan hal lain yang lazim berlangsung di kalangan pejabat birokrasi pemerintahan daerah. Terlebih lagi, seorang pengawas sekolah, justru dipilih lebih dikarenakan oleh alasan senioritas “yang tersisa”, dikarenakan jatah jabatan yang tidak memungkinkan lagi untuk mengakomodasikannya. Fungsi supervisi atas proses pembelajaran, dengan demikian menjadi lebih bersifat formalistik, sekedar memenuhi keharusan yang telah digariskan, karena harus ada sesuai dengan ketentuan dan petunjuk dari pemerintah pusat.

Sistem yang menjamin terelanggaranya peningkatan mutu pembelajaran secara terus-menerus dan berkelanjutan, seperti melalui kegiatan Lesson Study perlu terus disosialisasikan dan didukung penuh oleh pemerintah, terutama terkait dengan masalah anggaran biaya bagi MGMP yang dianggap cocok sebagai penyelenggara. Kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan latihan (diklat) bagi guru-guru pun perlu terus dibuka, dan diberlakukan bagi seluruh guru di Indonesia. Prinsipnya adalah, untuk dapat menyelenggarakan proses pembelajaran yang efektif dan menarik, seorang guru perlu terus belajar, baik secara individual maupun kolektif.

Tentu, masih banyak lagi masalah lain yang menyangkut mutu pendidikan di sekolah. Antara lain, masalah sarana dan prasarana sekolah, masalah siswanya sendiri dan orangtuanya, masalah budaya, dan seterusnya. Apapun itu, semoga, sekolah menjadi tempat pendidikan yang menarik bagi siswa untuk belajar. Amiin.***

________________________

Oleh Sri Endang Susetiawati

wallahu a'lam

Rhizo Education

Rabu, 23 Mei 2012

Biasakan Anak Membaca

 "Buku adalah jendela dunia". Hal ini menggambarkan pentingnya membaca untuk menambah wawasan kita, tetapi tidak jarang kita jumpai orang yang tidak suka membaca. Hal ini bukanlah hal yang tidak dapat dicegah, karena orangtua dapat membangkitkan minat baca anak dengan cara membacakan cerita.

Kegiatan membaca merupakan hal terbaik yang dapat diberikan orangtua kepada anak. Ungkapan ini tidak berlebihan, karena 90 persen kualitas otak anak dipengaruhi saat anak berusia nol sampai 3 tahun, sehingga periode ini disebut dengan periode emas. Maka, orangtua hendaknya membantu anak semaksimal mungkin pada periode ini agar perkembangan intelektual dan emosional maksimal. Salah satu hal yang dapat dilakukan orangtua adalah dengan membacakan cerita sejak dini untuk anak, bahkan sejak dalam kandungan karena ada banyak manfaat yanng bisa diperoleh dengan melakukannya.

Membaca adalah kemampuan yang terpenting bagi seseorang, karena dapat membuka wawasan terhadap banyak pengetahuan. Jutaan anak yang menghabiskan waktu di depan televisi ataupun video game sering gagal untuk meningkatkan kemampuan membaca mereka. Sehingga mereka gagal mempelajari banyak hal yang berharga. Hasil penelitian menunjukkan banyak pelajar SMA bahkan perguruan tinggi yang tidak sanggup membaca pada tingkat paling dasar agar sukses dalam mengerjakan tugas-tugas mereka. Penelitian menunjukkan bahwa keterampilan membaca harus mulai dikuasai seorang anak sejak dini. Mengajar anak untuk membaca adalah tugas utama yang penting.

Banyak orang tua berpikir bahwa pendidikan anak dimulai ketika anak mereka masuk sekolah setidaknya pada saat anak mereka masuk play group dan taman kanak-kanak. Namun fakta menunjutkkan bahwa sesaat setelah bayi lahir, otak bayi mulai berfungsi penuh dan siap menyerap semua informasi untuk digunakan kemudian oleh bayi tersebut. Karena itu, mulailah proses pengajaran sejak kelahiran. Buanglah pemikiran bahwa pengajaran dan pendidikan hanya bisa dilakukan oleh guru di sekolah atau mereka yang ahli dalam bidang pendidikan formal. Penelitian yang mendalam tentang hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemampuan dan keahlian seorang anak dalam menyelesaikan suatu tugas dan pekerjaan, seperti belajar berbicara dan belajar membaca, bergantung pada banyaknya interaksi mula-mula secara alamiah antara bayi dan orang tuanya, serta kemampuan orang tua untuk membantunya mulai belajar secara mandiri.

Orang tua berperan aktif untuk membantu anak mereka yang masih kecil untuk menguasai kemampuan membaca agar terhindar dari masalah di kemudian hari dalam pendidikan di sekolah. Hal ini bisa dimulai dengan cara sederhana dan membuatnya sebagai bagian dari rutinitas dalam kehidupan seorang anak. Dengan demikian dia dapat menguasai kemampuan membaca bahkan sebelum memasuki sekolah.


Kapan Mulai Mengajar Membaca?

Saat yang paling tepat untuk memulai adalah sedini mungkin. Saat bayi lahir, cobalah mulai berbicara kepada bayi Anda. Ingatlah bahwa ia sedang belajar suatu "bahasa asing" sehingga membutuhkan semua bantuan yang dapat Anda berikan. Kata-kata penuh kasih sayang serta semua komunikasi lisan tidak hanya meyakinkan rasa sayang Anda kepada sang bayi, namun juga secara tetap tentu memperkenalkan kepadanya bahasa asing yang sedang ia pelajari.

Pada proses pertama, sang bayi hanya akan mempelajari dari suara saja dan ini bisa berlangsung sejak kandungan. Kemudian ketika ia mulai bisa melihat lingkungan sekelilingnya, Anda dapat menggunakan alat bantu visual misalnya mainan yang dapat membuatnya belajar sekaligus bisa bermain. Namun yang terbaik, Anda dapat menggunakan alat bantu yang membantunya belajar membaca sekaligus membuatnya terhibur.


Cara Mengajar Membaca untuk Anak sejak Dini

Mulailah dengan menunjukkan satu atau dua huruf yang berwarna cerah. Perangkat seperti ini banyak tersedia di toko mainan anak. Gunakan huruf-huruf ini sebagai mainan bagi sang bayi, namun Anda dapat sedikit menekankan kepada sang bayi dengan menyebutkan nama huruf tersebut kepadanya setiap kali ia mengamati huruf tersebut. Tambahlah satu huruf secara per lahan seraya ia semakin bertumbuh. Seraya waktu berjalan, ia akan mulai dapat mengidentifikasi banyak huruf meski belum mampu mengucapkannya.
Tiga Langkah Pertama Membaca

1. Perkenalkan dan sebutkan setiap huruf pada bayi Anda

2. Sebut nama huruf-huruf dengan urutan kiri ke kanan

3. Bantulah ia mengerti bahwa huruf tercetak menggambarkan suara yang diucapkan

Setelah sang anak mengetahui semua huruf, maka tahap selanjutnya adalah memperkenalkan huruf-huruf tersebut pada urutan yang tepat. Di Indonesia kebiasaan membaca adalah dari kiri ke kanan. Maka susunlah huruf-huruf tersebut dari kiri ke kanan. Ketika ia sudah mulai berbicara, mintalah ia menyebutkan huruf-huruf tersebut dengan urutan dari kiri ke kanan.

Setelah seorang anak mengenali semua huruf, mulailah dengan mulai mengajarkan mengenal kata. Salah satu cara terbaik adalah dengan memperkenalkan namanya. Misalnya dengan menyusun huruf-huruf yang membentuk namanya. Lalu orang tua mengucapkan susunan huruf-huruf tersebut serta namanya. Ketika ia mulai lancar mengucapkan namanya, tambahkan kata lain yang mudah dimengerti seperti papa, mama, atau kata lainnya. Lakukan semua hal tersebut dalam kondisi santai dan juga dalam suasana bermain.

Selain itu, Anda juga dapat membacakan sebuah cerita dalam buku yang memiliki gambar dengan warna yang cerah. Sang anak akan lebih terbiasa membaca jika Anda sering membacakan buku yang menarik kepada anak Anda yang masih kecil. Dengan demikian ia akan semakin mengerti bahwa huruf-huruf tersusun menjadi kata yang memiliki ucapan dan arti tersendiri.

Agar kegiatan ini tidak membosankan, hendaknya saat membacakan cerita dilakukan dengan seekspresif mungkin. Gunakan intonasi suara sesuai karakter tokoh yang ada. Anda juga dapat menggunakan bahasa tubuh yang sesuai aatau melakukan efek drama seperti tertawa, berbisik, menjerit atau merengek untuk membuat anak berimajinasi.

Karena selera anak bisa berbeda, maka bila Anda hendak membeli sebuah buku, libatkan anak untuk memilih buku yang disukainya. Ini tentu dapat dilakukan ketika anak Anda sudah mengerti dan cukup umur untuk menentukan pilihannya. Selanjutnya, tugas Anda sebagai orangtua adalah menyeleksi buku yang dipilih anak apakah sesuai dengan usianya.

Waktu yang paling baik untuk membacakan buku adalah saat anak menjelang tidur. Sisihkan 15 menit sampai 20 menit untuk mebacakannya karena pada saat inilah daya ingat anak semakin kuat.


Manfaat Membacakan Cerita untuk Anak

Karena itu, bagaimana cara mengajarkan anak agar berminat untuk membaca? Caranya adalah dengan membacakan cerita sejak mereka lahir bahkan semenjak di kandungan. Beberapa manfaat membacakan cerita untuk anak antara lain:

*
Menanamkan kecintaan anak untuk membaca buku.
Dengan gemar membaca buku tentu akan menambah pengetahuan anak dan dapat menjadikannya manusia yang berkualitas di masa depan.
*
Membuat anak menjadi lebih tenang dan nyaman.
Karena suara orangtua sudah biasa didengar sejak dalam kandungan, maka ketika mendengar suara Anda setelah anak lahir membuatnya merasa tidak sendirian, sehingga anak merasa lebih nyaman.
*
Membantu anak mengenal kata dan kalimat.
Ketika orangtua membacakan cerita, anak akan mendengar kata yang Anda ucapkan. Hal ini akan menambah perbendaharaan kata yang dimilikinya, membantunya mengenal arti kata dan kalimat. Anda juga dapat menerangkan arti suatu kata yang kelihatannya asing atau belum diketahui artinya.
*
Menyampaikan pesan moral untuk anak.
Buku-buku yang dikhususkan untuk anak, biasanya berisi pesan moral yang hendak disampaikan sehingga dapat menjadi media untuk memberitahu anak apa hal baik dan buruk yang boleh atau tidak boleh dilakukan.
*
Meningkatkan hubungan emosional orangtua dan anak.
Membacakan cerita dapat membuat anak merasa diperhatikan. Anda juga dapat membacakan cerita dengan memeluk atau bersentuhan secara fisik sehingga anak merasa disayangi.

Jadi, jangan lupa bacakan cerita untuk anak Anda malam ini.(Sumber: Kumpulan Info)

wallahu a'lam
semoga bermanfaat

Rhizo Education

Kamis, 17 Mei 2012

Kiat dalam mendidik anak Soleh dan Solehah

Mendidik anak dengan Ilmu,
Yang dibutuhkan orang tua adalah ilmu agama dan ilmu cara berkomunikasi dengan anak.
Pertama tanamkan akidah yang shohihah, lalu ilmu tentang ibadah terutama shalat dan bersuci. Lalu Ilmu tentang adabdisertai contoh/teladan dari orang tua, juga Ilmu seni berinteraksi dengan anak, Bagaimana membangun rasa percaya diri dalam diri anak, bagaimana memotivasi agar gemar dan mencintai belajar, bagaimana menumbuhkan bakat dan berbagai konsep-konsep dasar pendidikan anak lainnya.
Insya Allah

Wallahu a'lam

Rhizo Education