Masih teramat banyak, mereka yang mengeluhkan mengenai mutu pendidikan di negeri ini, terutama mengenai mutu pendidikan sekolah (pendidikan formal). Ada yang mengkritisi dari segi sistem evaluasi, masalah guru, hingga secara ekstrim mempermasalahkan manfaat yang sesungguhnya dari bersekolah, yang kemudian memunculkan pertanyaan superlatif, “masih perlukah bersekolah ?”.
Sejumlah komentar, kritik atau pertanyaan yang menggelitik mengenai pendidikan sekolah tersebut adalah amat wajar mengemuka. Pertanyaannya, mengapa hal ini semua bisa terus terjadi ? Kemendiknas, sebagai penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional sudah tentu telah melakukan berbagai hal untuk mengatasi sejumlah masalah pendidikan sekolah. Pertanyaannya, mengapa masalah tersebut senantiasa muncul dan bersifat klise, serta oleh sebagian masyarakat dianggap belum mengalami perubahan secara signifikan ?
Masalah Ujian Nasional (UN)
Salah satu kebijakan Kemendiknas adalah meningkatkan standar mutu pendidikan sekolah, melalui penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). UN adalah bagian dari sistem evaluasi pendidikan di sekolah yang dimaksudkan untuk (1) memperoleh gambaran atau pemetaan mengenai mutu pendidikan sekolah secara nasional, (2) meningkatkan standar mutu pendidikan sekolah, (3) merangsang siswa dan guru untuk lebih giat dalam proses pembelajaran, dengan menjadikan UN sebagai salah satu komponen penting dalam menentukan kelulusan belajar seorang siswa (kini, porsi UN = 60 % penentu kelulusan, sisanya hasil evaluasi sekolah sendiri).
Apa yang terjadi di lapangan ? UN seringkali tidak menggambarkan hasil belajar sesungguhnya yang diperoleh oleh siswa. Banyak hal yang menjadi distorsi sehingga UN sering tidak mencapai sasaran, antara lain (1) sistem pengamanan lembaran soal UN yang rawan bocor, (2) sistem birokrasi di tingkat pemerintahan daerah yang mengkooptasi sistem evaluasi pendidikan sekolah, seperti target kelulusan UN di daerah sebagai sebuah prestasi dan prestise seorang pejabat daerah, yang kemudian di lapangan diterjemahkan dalam bentuk “bantuan teknis” oleh guru saat pelaksanaan UN dan “katrol nilai” siswa di sekolah agar mengimbangi kemungkinan hasil terburuk dari UN, agar mereka secara administratif tetap dapat diluluskan, sesuai target sekolah dan pemerintah daerah.
Apa reaksi para guru terhadap realitas pelaksanaan sistem evaluasi belajar di sekolah seperti di atas ? Sudah dapat diduga, sebagian besar mereka cenderung apatis, karena sistem birokrasi adalah bagian yang menjadi teramat penting bagi dirinya, bahkan menjadi yang paling berpengaruh, karena menyangkut banyak hal terhadap karir seorang guru. Adakah guru yang mau cari perkara, dengan membenturkan kepala pada dinding tembok yang kokoh, untuk sekedar membuat gegar otak di kepala miliknya ? Agar peluang lulus seorang siswa tetap terbuka, maka nilai ujian sekolah (yang berbobot 40 % kelulusan) dalam bentuk nilai rapor adalah minimal 7 (MIPA) dan 8 (non MIPA). Sebuah sistem evaluasi yang “win-win solution” bagi siswa, guru, kepala sekolah dan para pejabat di daerah dan pusat, bukan ?. Semuanya, “yang penting happy”.
Masalah Profesi Guru
Sekarang masalah guru. Masalah guru berawal dari sistem rekruitmen calon guru yang belum mampu menarik putra-puri tebaik Indonesia. Mengapa ? Karena, profesi guru masih belum menjadi profesi yang menarik dan menjadi bagian dari profesi pilihan “papan atas”. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa hampir tidak sedikit - untuk menghindari menyebut sebagian terbesar - mereka yang kini menjadi guru lebih karena alasan “terpaksa”, sebagai pilihan terakhir untuk dapat bekerja. Bukan pilihan utama, juga bukan karena panggilan jiwa, dan apalagi bukan karena image profesi yang dianggap bergengsi.
Mengapa hal ini bisa terjadi ? Sangat mudah ditebak. Guru adalah profesi yang dianggap belum menjanjikan bagi masa depan, dengan tingkat kesejahteraan yang relatif masih kalah jauh dari pekerjaan profesional yang lainnya. Salah satu alasan penting adalah menyangkut masalah penghasilan (salary). Secara jujur, ini menyangkut hal yang cukup sensitif bagi seorang guru saat berbicara masalah penghasilan atau gaji. Namun, suka atau tidak suka hal tersebut harus dipersoalkan, terutama agar menarik mereka yang sebenarnya sangat potensial untuk menjadi guru yang bermutu.
Kini, Kemendiknas telah memprogramkan rekruitmen calon guru dengan metode yang sebagian mengadopsi pendidikan di IPDN atau kedokteran. Katanya, calon guru, nanti akan diasramakan, dilatih secara khusus, melalui program khusus yang bekerjasama dengan beberapa lembaga pendidikan tinggi, agar mereka menjadi calon guru yang benar-benar profesioal. Apakah hal ini benar-benar akan efektif ? Untuk sebagian, mungkin iya, terutama terkait peningkatan mutu pendidikan bagi calon tenaga pendidik (guru). Namun, sebagian terbesarnya, kembali pada masalah pokok, rekruitmen calon guru yang berkualitas sangat terpengaruh oleh tingkat profesi guru dari kacamata salary.
Adalah menarik, upaya pemerintah pusat dengan mengeluarkan program peningkatan penghasilan guru melalui tunjangan profesional setelah melalui proses sertifikasi guru. Bagi mereka yang dianggap telah profesional dengan memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), maka guru akan memperoleh tambahan penghasilan 1 kali gaji pokok, yang dibayarkan setiap enam bulan sekali. Tujuannya, adalah agar guru lebih terangsang untuk meningkatkan profesionalismenya sebagai pendidik dan pengajar.
Apa yang terjadi di lapangan ? Survei Kemendiknas sendiri membuktikan bahwa program sertifikasi tidak secara otomatis meningkatkan mutu guru secara signifikan. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Pada tingkat implementasi, program sertifikasi telah mengalami distorsi. Program yang seharusnya mengacu pada tingkat mutu guru sebagai parameter seleksi, sehingga hanya guru yang berkualitaslah yang mendapatkannya, kenyataannya lebih berfungsi sebagai program pelipatgandaan pendapatan berdasarkan urut kacang senioritas, dan tak menutup kemungkinan pula berdasarkan asas lama, deket, dulur dan duit.
Apa yang selanjutnya terjadi ? Program peningkatan penghasilan ini tidak secara langsung meningkatkan mutu guru, karena yang terpilih kebanyakan mereka yang telah senior, yang secara teknis dan psikololgis amat rigid dan resisten terhadap perubahan dan pembaharuan. Program ini, pun belum mampu menarik mereka yang bermutu terbaik, yang sebenarnya potensial untuk mau menjadi guru sebagai profesinya.
Adalah lebih masuk akal, bila program peningkatan penghasilan dilakukan dengan sekaligus dan berlaku untuk semua, bagi mereka yang baru masuk menjadi guru PNS, atau yang sudah lebih dahulu senior. Guru perlu peningkatan total gaji yang memadai, tanpa terlebih dahului melalui proses sertifikasi, yang terkesan sebagai sebuah kebijakan setengah hati dalam meningkatkan gaji. Peningkatan penghasilan guru agar mencapai standar gaji minimal sebuah pekerjaan profesional yang menjanjikan menjadi sangat mutlak bagi terciptanya guru yang berkualitas. Sekedar perbandingan, gaji guru yang telah bekerja lebih dari 10 tahun dengan golongan IV A, hanya seperempatnya saja dari gaji pegawai Ditejen Pajak, seperti Gayus HP Tambunan, yang bergolongan III A, kurang dari 5 tahun bekerja !
Mungkin, ada pertanyaan. Apakah gaji guru PNS selama ini dianggap masih kurang cukup memadai ? Sebagai sebuah pekerjaan biasa untuk dapat hidup “biasa saja”, apalagi bagi mereka yang tinggal di daerah, mungkin bisa dikatakan cukup, untuk tidak menyebut pas-pasan. Namun, sebagai sebuah pekerjaan profesional, yang selalu dituntut terjadi peningkatan mutu dan kompetensi, jelas gaji saat ini belum cukup, untuk tidak mengatakan sangat kurang.
Guru adalah salah satu profesi yang berbasis pada aspek “knowledge” sebagai pijakan kompetensinya. Di samping terkait dengan kebutuhan operasional sehari-hari, kebutuhan perumahan, pendidikan anak-anaknya, dan masa depan hari tuanya, guru pun perlu selalu meningkatan mutu “knowledge”, yang antara lain dapat dipenuhi dengan membeli buku, mengakses internet, mengikuti kegiatan akademik, kuliah lagi, atau mengikuti forum ilmiah, melakukan perjalanan yang bersifat “studi komparatif” ke daerah atau tempat tertentu yang secara langsung atau tidak langsung dapat memperkaya pengetahuan dan wawasannya sebagai seorang pendidik yang profesional.
Dalam konteks inilah, maka gaji guru saat ini dapat dikatakan masih jauh dari standar gaji pekerjaan yang disebut profesional. Apalagi, dengan waktu mengajar minimal yang 24 jam pelajaran setiap minggunya, maka amat sulit bagi seorang guru untuk melakukan banyak hal dalam pengembangan profesinya. Lebih sulit lagi, adalah untuk mengatasi kekurangan gaji dengan melakukan tambahan profesi lain, di luar sebagai pengajar. Berbeda halnya, misalnya dengan profesi dokter, yang hanya berada di rumah sakit cukup dengan 2-3 jam saja per hari, untuk 3-4 hari saja per minggu. Dokter, dapat memperoleh penghasilan yang jauh lebih tinggi dengan lebih banyak waktu berpraktek di rumah sakit swasta atau praktek pribadi di rumahnya sendiri. Pekerjaan profesional, menuntut ketekunan dan kesetiaan profesi tanpa harus diganggu oleh masalah-masalah kecil, antara lain seperti gaji yang kurang mencukupi.
Sekali lagi, ini bukan ekspresi dari keluhan seorang guru. Ini adalah logika yang cukup adil, untuk menentukan, apakah guru merupakan sebuah pekerjaan profesional yang cukup menjanjikan ? Apakah profesi guru cukup menarik bagi mereka, putra-putri terbaik Indonesia yang sangat potensial dan berkualitas ? Akhirnya, ini adalah sebuah pertaruhan, apakah anak cucu kita di negeri ini, secara nasional, berpeluang besar untuk dapat dididik oleh guru-guru yang bermutu dan profesional ? Jika pendidikan merupakan bagian dari komponen atau indeks mutu kehidupan, maka hal ini menjadi salah satu ukuran yang sesungguhnya mengenai bagaimana masa depan mutu kehidupan bangsa kita !
Masalah Pembelajaran yang Efektif dan Menarik
Terakhir, adalah masalah proses belajar mengajar (pembelajaran) di sekolah. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, tidak cukup hanya dengan menaikkan gaji guru secara memadai. Juga, tidak cukup hanya dengan melakukan perubahan Undang-Undang (UU) dan perubahan kurikulum di sana sini. Peningkatan mutu pendidikan, khususnya di sekolah, membutuhkan lebih dari sekedar masalah landasan yuridis, pergantian kurikulum, penerapan konsepsi model-model pembelajaran, entah itu CTL, Quantum Learning, Cooperative Learning, dan seterusnya, atau hal-hal yang lebih bersifat teknis administratif, seperti tugas Satpel, RPP dan sebagainya.
Mengajar adalah bagian dari bentuk komunikasi. Masalah mengajar, sesungguhnya berawal dari masalah bagaimana guru berkomunikasi dengan siswa. Penguasaan materi pelajaran adalah mutlak bagi seorang guru. Namun, yang tak kalah penting lagi adalah kemampuannya dalam seni berkomunikasi saat mengajarkan materi pelajaran kepada siswa di kelas. Yang dimaksud adalah, bukan komunikasi yang selama ini banyak terjadi, yakni komunikasi yang bersifat memaksa, menekan dan tidak membuat nyaman bagi siswa. Namun, yang diperlukan adalah komunikasi yang bersahabat, menyenangkan, tidak membosankan, dan membuat nyaman bagi siswa tanpa menghilangkan efektifitas dari tujuan pembelajaran itu sendiri.
Adalah sangat sangat perlu untuk melakukan pembenahan kurikulum lembaga pendidikan tinggi yang mendidik para calon guru, dengan memasukkan masalah kemampuan berkomunikasi sebagai bagian dari mata kuliah wajib, yang hingga saat ini -mungkin - belum tersedia. Adalah lebih penting meningkatkan kemampuan seni berkomunikasi guru, bila dibandingkan dengan penambahan kewajiban yang bersifat teknis adminstratif, seperti RPP atau Satpel, yang sebenarnya dapat diambil alih oleh para profesional lain di bidang kurikulum. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penambahan kewajiban teknis administratif, ternyata tidak memiliki korelasi langsung terhadap peningkatan mutu pembelajaran seorang guru. Kompetensi seorang guru, pada hakikatnya terletak pada kemampuannya menyelenggarakan proses kegiatan pembelajaran yang bermutu, efektif, dan menarik bagi para siswanya.
Adalah menarik untuk belajar dari bangsa lain. Para peneliti pendidikan di Amerika Serikat (AS) menyimpulkan bahwa kekalahan rata-rata hasil belajar siswa AS dibandingkan dengan siswa di Jepang, khususnya di bidang Matematika dan IPA, bukan disebabkan oleh tidak adanya perubahan dan perbaikan sistem pendidikan di AS. Perubahan dan perbaikan pendidikan selalu dilakukan oleh AS setiap tahunnya. Ada satu hal yang tidak dilakukan oleh AS, namun telah dilakukan oleh Jepang, yaitu adanya sistem yang menjamin peningkatan mutu pembelajaran yang dapat berlangsung secara terus-menerus dan berkelanjutan. Sistem itu, yang kemudian juga kini baru diadopsi oleh Indonesia, adalah Jugyokenkyu atau lebih populer dengan istilah Lesson Study, atau Studi Pembelajaran.
Apa yang terjadi pada pendidikan di sekolah kita ? Tanpa menafikkan lebih banyak sekolah yang telah menerapkan proses pembelajaran yang bermutu dan menarik, kiranya dapat dikatakan sebuah hasil pengamatan sementara, dan mungkin masih bersifat terbatas. Bahwa Indonesia pun belum memiliki sistem yang menjamin tejadinya peningkatan mutu pembelajaran secara terus-menerus dan berkelanjutan. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Proses pembelajaran oleh guru, lebih bersifat individual. Artinya, guru mengajar tidak memiliki kaitan langsung dengan pengajaran yang dilakukan oleh guru lainnya. Guru, seolah memiliki kebebasan yang bersifat mutlak tentang bagaimana ia mengajar di kelas, tanpa diketahui oleh guru lain bagaimana sesungguhnya proses pembelajaran itu terselenggara.
Ini, menyangkut masalah kontrol atas praktek pembelajaran seorang guru di kelas, dari sebuah sistem pembelajaran di sekolah secara keseluruhan. Guru, seolah hampir tanpa kontrol, dan bersifat kebal dari kemungkinan koreksi dari pihak lain. Entah, guru itu telah mengajar dengan baik dan menarik, atau mengajar dengan seadanya dan membosankan. Semua itu berjalan begitu saja, dan berkalu untuk seterusnya. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Karena sistem pengawasan fungsional tidak berlangsung sebagaimana mestinya, untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali.
Sistem kontrol yang berlangsung selama ini, adalah melalui penilaian dan supervisi dari Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah. Namun, apa yang terjadi di lapangan ? Proses penilaian dan supervisi, sekali lagi, jatuh pada hal yang lebih bersifat teknis-administratif, seperti pembuatan RPP dan sejenisnya. Bukan, pada hal yang bersifat substansi dari proses pembelajaran, seperti bagaimana mengajar materi pelajaran yang efektif dan menarik bagi siswa. Mengapa hal ini bisa terjadi ? Mudah ditebak pula. Ini masalah kemampuan dan mutu SDM, mereka yang menjabat sebagai Kepala Sekolah atau Pengawas.
Secara ideal, seorang Kepala Sekolah, atau apalagi pengawas adalah orang yang dipilih, salah satunya karena alasan mereka memiliki kemampuan yang lebih mengenai bagaimana menyelenggarakan proses pembelajaran di kelas yang efektif dan menarik. Sehingga, dengan demikian, mereka dapat diharapkan tidak saja melakukan kegiatan monitoring, namun pula mampu memberikan pengarahan dan sekaligus memberikan contoh mengenai bagaimana mengajar yang efektif dan menarik itu bagi guru-guru yang lain. Apa yang terjadi saat ini ? Jabatan Kepala Sekolah lebih terkesan sebagai bagian dari proses penempatan jabatan karir birokrasi di pemerintahan daerah. Meski kini, Kemendiknas sedang berupaya untuk melakukan sertifikasi calon Kepala Sekolah. Akan efektifkah ?
Ukuran kualitatif dan selektif berdasarkan standar yang dituntut dalam dunia pendidikan menjadi seolah terkalahkan oleh preferensi yang lebih bersifat birokrasi, seperti soal loyalitas, senioritas, dan hal lain yang lazim berlangsung di kalangan pejabat birokrasi pemerintahan daerah. Terlebih lagi, seorang pengawas sekolah, justru dipilih lebih dikarenakan oleh alasan senioritas “yang tersisa”, dikarenakan jatah jabatan yang tidak memungkinkan lagi untuk mengakomodasikannya. Fungsi supervisi atas proses pembelajaran, dengan demikian menjadi lebih bersifat formalistik, sekedar memenuhi keharusan yang telah digariskan, karena harus ada sesuai dengan ketentuan dan petunjuk dari pemerintah pusat.
Sistem yang menjamin terelanggaranya peningkatan mutu pembelajaran secara terus-menerus dan berkelanjutan, seperti melalui kegiatan Lesson Study perlu terus disosialisasikan dan didukung penuh oleh pemerintah, terutama terkait dengan masalah anggaran biaya bagi MGMP yang dianggap cocok sebagai penyelenggara. Kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan latihan (diklat) bagi guru-guru pun perlu terus dibuka, dan diberlakukan bagi seluruh guru di Indonesia. Prinsipnya adalah, untuk dapat menyelenggarakan proses pembelajaran yang efektif dan menarik, seorang guru perlu terus belajar, baik secara individual maupun kolektif.
Tentu, masih banyak lagi masalah lain yang menyangkut mutu pendidikan di sekolah. Antara lain, masalah sarana dan prasarana sekolah, masalah siswanya sendiri dan orangtuanya, masalah budaya, dan seterusnya. Apapun itu, semoga, sekolah menjadi tempat pendidikan yang menarik bagi siswa untuk belajar. Amiin.***
________________________
Oleh Sri Endang Susetiawati
wallahu a'lam
Rhizo Education
Tidak ada komentar:
Posting Komentar