Sebut saja bu Riri, lulusan S1 PAUD, seorang guru kelompok bermain dan TK di sebuah kota kecil. Sekolahnya kecil, kelasnya bekas garasi mobil dan baru saja punya taman bermain yang sebenarnya berfungsi ganda. Jika pagi untuk taman bermain dan jika siang sampai malam untuk parkir kendaraan. Walhasil kalau di lihat dari fasilitas, kita semua menarik nafas panjang.
Belum lagi sekolah itu dengan beraninya menerapkan ‘multiple intelligence’ yaitu memandang semua anak cerdas dan harus punya kesempatan bersekolah. Konsep ini sangat terekam sangat kuat di otak bu Riri. Menurut dia sebenarnya tidak ada anak bodoh, tidak ada anak nakal, apalagi seusia TK. Namun bagaimana kita memberi pelayanan kepada anak-anak tersebut. Itulah kuncinya. Pada saat konsep itu dikumandangkan maka penerimaan siswa baru pada tahun ajaran baru banyak dimasuki oleh anak-anak ‘spesial’.
Namun ada yang luar biasa dari Bu Riri ini. Meskipun belum memahami konsep ‘sekolah inklusi’ bu Riri menerima dan melayani anak-anak spesial ini dengan hati dan keikhlasan yang luar biasa. Pangil saja si Budi, siswanya yang spesial. Tidak bisa diam dan selalu menggoda bahkan memukul teman-temannya. Apa yang dilakukan bu Rini? Mengumpulkan semua siswanya dan memberi penjelasan sederhana.
“Anak-anak, Budi ini tidak nakal lho, dia anak yang baik dan harus menjadi sahabat semua. Dia memukul itu disebabkan suasana yang tidak nyaman. Mungkin tadi ada yang membentak, mungkin tadi yang menarik tangannya, dan lain-lain. Anak-anak iklhas ya membantu Budi …”
Tak henti-hentinya penjelasan itu diberikan kepada seisi kelas. Satu minggu kemudian muncul tantangan baru lagi. Ada tiga anak spesial yang mendaftar lagi. Kepala sekolahnya mengatakan bahwa batasan anak spesial hanya 1 anak di kelas, tidak boleh lebih. Sebab sekolah ini masih tidak memiliki ‘shadow teacher’ maupun ‘terapis’. Namun orangtuanya terus mendesak, sebab tidak ada lagi sekolah di daerah itu yang mau menerima. Ketika hampir terjadi ‘dead lock’, bu Riri mengatakan bahwa dia sanggup untuk mengatasi tiga anak spesial itu.
“Sudah ibu kepala sekolah terima saja mereka. Buat saya, asal mereka bisa kumpul sama teman-temannya, itu sudah bagus. Insyaallah saya akan menjaganya sekuat tenaga saya.”
Kepala sekolahnya hanya bisa mengelus dada tanda ucapan terima kasih kepada bu Riri.
Selanjutnya esok harinya kelas tersebut diramaikan lagi dengan datangnya tiga anak spesial, jadi total ada empat anak spesial. Satu kelas dengan 15 anak, dengan 4 anak spesial, dengan 1 guru. Apa mungkin itu bisa berjalan? Dengan rasa penasaran saya melakukan interview dengan bu Riri.
Saya : Maaf bu Riri … apa ibu paham tentang konsep sekolah inklusi?
Bu Riri : Belum tuh pak …
Saya : (dengan serius saya menjelaskan konsep sekolah inklusi)
Bu Riri : Oh … itu toh pak. Di sekolah ini juga begitu. (Sambil mengenalkan nama-nama anak yang spesial).
Saya : Tapi ibu … harus ada batasan jumlah anak spesial itu pada setiap kelasnya. Apa ibu tidak capek mengajar dengan banyak anak spesial.
Bu Riri : Kalau dibilang capek yang dari dulu capek pak. Saya hanya kasihan melihat anak spesial itu tidak bisa sekolah. Kalau sudah kumpul begini, capek saya jadi hilang. Apalagi melihat mereka tertawa riang sambil bermain. Duh seneng gitu rasanya …
Saya : Tapi ibu … sekolah semacam ini itu mestinya ada shadow teacher, ada terapisnya. Saya malah khawatir anak-anak spesial tersebut jadi liar dan menciderai anak didik lainnya?
Bu Riri : Oh .. gitu toh pak? Tapi saya enjoy itu pak …
Saya : Lalu bagaimana caranya ibu mengatur kelas ini?
Bu Riri : Ya biasa saja pak … anak-anak spesial itu hanya saya suruh melihat-lihat, jika mulai ‘mengamuk’ saya peluk. Terkadang saya harus memeluk dua orang sekaligus. Terkadang saya dibantu oleh siswa-siswa yang lain. Tapi alhamdulillah ujung-ujungnya mereka tenang.
Saya : Apa ada yang celaka sebab anak-anak spesial mengalami ‘tantrum’?
Bu Riri : Ya.. biasa pak. Saya sering digigit, dijambak jilbab saya atau di pukul. Saya Cuma bilang jangan sampai memukul teman-temannya, tapi pukul dan gigit saya saja, nanti akan tenang.
Saya : Apa ibu tidak kesakitan?
Bu Riti : Sakit sih pak..tapi sebentar sakitnya hilang tuh. Kasihan pak mereka kan tidak sengaja melakukan itu. Pokoknya saya mengajar dengan hati.
Saya : Maaf bu Riri… meskipun bu Riri mengajar dengan hati, tapi metode yang bu Riri lakukan itu tidak sesuai dengan teori-teori perkembangan psikologi anak. Ibu harus tahu itu …
Bu Riri : (sambil tersenyum) maaf pak … mungkin saya menemukan teori psikologi baru kali ya pak, yaitu ‘mengajar dengan hati’
Saya : (mengambil nafas panjang, mengeleng-geleng kepala, dan berdoa … Ya Allah seandainya semua guru seperi bu Riri, pasti bangsa ini maju)
Munif Chatib
Rhizo Education
Tidak ada komentar:
Posting Komentar